(sumber dakwatuna.com) – Mengapa amanah ini diberikan kepada kita, padahal mereka belum
membangun ‘pondasi’ untuk itu. Akhirnya, kita berada di jalan ini dengan
tertatih lantaran kita diterjunkan secara ‘prematur’. Kesendirian akibat
ditinggalkan oleh sahabat seolah menjadi bumbu yang biasa karena rapuhnya pe-ri`ayah-an. Apalagi lemahnya kepemahaman membuat waktu
kita habis untuk mengejar ketertinggalan diri kita terhadap amanah ini.
Sehingga ketika periode amanah ini habis, kita baru sadar kalau kita masih
berjalan di tempat, belum banyak prestasi yang dibuat.
Tidakkah para qiyadah kita terdahulu memikirkan apa yang akan
kita rasakan saat ini? Atau kita yang terlalu bodoh hingga tak dapat membaca
alur regenerasi, bahwa kita telah diproyeksikan untuk amanah ini? Dan, ke mana
mereka setelah amanah ini bergulir? Jangan-jangan mereka hanya ‘cuci tangan’
agar dapat segera lepas dari dakwah ini? Ah, betapa sakitnya hati ini.
Mereka sebenarnya tahu,
karena itu mereka menjelaskan bahwa tidak selamanya mereka akan menemani kita.
Kita harus tahu bahwa mereka sibuk. Ada amanah yang lain yang mungkin lebih
tinggi dari amanah kita sekarang ini. Mereka memikul beban yang boleh jadi
lebih berat. Kita harus mengerti. Tapi, di saat mereka ingin dimengerti,
sadarkah bahwa kita pun ingin dimengerti?
Terlebih para jundi, yang tak lain adalah teman dan adik-adik kita
sendiri, sepertinya tak mampu merasakan bagaimana sulitnya kita untuk
istiqamah. Rasanya dada ini semakin sesak kalau kita ingat mereka jugalah yang
dulu memilih kita di posisi ini, meyakinkan kita bahwa kitalah yang pantas
memimpin mereka. Tapi sekarang? Mereka dengan mudah berkata “’afwan” di setiap
panggilan kita tanpa memberi alasan yang jelas. Apa mereka lupa kalau jundi itu harus patuh pada qiyadah? Getir jadinya kalau ingat definisi ukhuwah itu apa.
Di satu sisi kita ingin
‘ngebut’ mengukir prestasi ini-itu saat menjabat, tapi ketidakdisiplinan mereka
menjadikan jalan ini macet, yang akhirnya tenaga kita malah terkuras banyak
untuk mengurusi mereka daripada tuntutan dakwah itu sendiri. Merepotkan!
Ya ya ya, mungkin mereka
begitu karena sibuk dengan amanah di tempat lain yang lebih membutuhkan mereka.
Mungkin saja mereka memang kurang terpaut hatinya, atau kurang tahu mereka
harus kerja apa, dan lain sebagainya. Maklum, ada banyak persoalan yang harus
disabari dalam jama’ah ini. Justru seharusnya kita sebagai qiyadah dapat lebih sabar dan kuat dalam menyikapi
mereka. Memang benar, kita harus mencoba mengerti mereka. Kita harus dewasa
dalam menyikapi ‘kepolosan’ mereka. Bagaimanapun kita qiyadah. Ya, betul sekali, kita qiyadah. Tapi, di saat mereka ingin dimengerti, sadarkah
bahwa kita pun ingin dimengerti?
Tubuh kita semakin
lemas, jika mendapati amanah-amanah yang kita pikul ternyata tidak menunjukkan
progres yang jelas, tidak tahu mau dibawa ke mana, dan sampai kapan kita akan
terus begini. Kita buta dengan sistem dan tidak dapat menjalankannya. Kenapa?
Karena kita belum ada pengalaman sebelumnya. Ingat, kita ‘prematur’!
Sementara qiyadah-qiyadah terdahulu belum seutuhnya mewariskan apa-apa yang seharusnya
kita dapatkan.
Untuk membuat sistem
baru, rasanya berat. Kita menyadari bahwa kita bukan orang yang pandai
mengonsep lantaran kita termasuk orang lapangan yang biasa mendapat turunan
tugas dari atasan. Atau kita bisa mengonsep, tapi melihat para jundi seperti itu, sepertinya semangat kita jadi
hilang dan harapan kita menjadi pupus adanya.
Kalau semua amanah ingin
dimengerti, para qiyadah ingin dimengerti, jundi-jundi ingin dimengerti, dan segala tuntutan-tuntutan
itu juga harus dimengerti, lantas siapa yang akan mengerti kita?
Seperti pepatah “tak ada
gading yang tak retak”, maka kita pun demikian. Kita manusia biasa, bukan
superman. Penampilan kita yang kokoh bukan berarti diri kita luput dari
kerapuhan. Sosok kita yang kuat bukan berarti kita tanpa kelemahan. Ada saat
dimana kita ingin dimengerti dan menuangkan semua perasaan penat ini.
Tapi kepada siapa?
Teman-teman sepertinya banyak yang kurang mengerti. Kalaupun kita menceritakan
ini semua, tidakkah nantinya kita dianggap orang yang lemah? Kita harus menjadi
teladan bagi mereka. Jangan sampai mereka antipati karena melihat sisi
kelemahan kita. Apalagi sekarang ini sudah zamannya krisis keteladanan. Jelas
kita tidak ingin menjadi seperti mereka, kader yang norak karena tak
memiliki izzah dan integritas.
Murabbi? Ah, jangankan untuk mendengar curhatan kita, terkadang karena
kesibukannya untuk bertemu saja susah. Akhirnya, kita jugalah yang harus
mengerti beliau. Rindu rasanya sosok murabbi yang komplit menjalankan perannya sebagai
orangtua, pemimpin, guru, dan sahabat.
Orangtua kita? Terkadang
tidak semua orangtua itu enak diajak ngobrol. Bahagialah jika di antara kita
memiliki orangtua yang supel dan mengerti anaknya. Tapi bagaimana jika mereka
adalah orangtua yang temperamen, kolot, dan tidak memahami apa yang kita jalani
ini? Ujung-ujungnya, kitalah yang harus melapangkan dada untuk lebih memahami
mereka. Kita paham, masalahnya bukan seperti apa mereka pada kita, tapi seperti
apa kita pada mereka. Dan karena rasa sayang kita pulalah, kita jadi tak tega
untuk menceritakan keluh kesah kita di jalan dakwah ini, khawatir membebani
pikiran mereka nantinya.
Lalu ke mana lagi? Facebook? Twitter? Jejaring sosial lainnya? Ah, apa kata
orang-orang kalau kita, yang mereka kenal sebagai aktivis dakwah ini, curhat di
statusnya, “Uuuuh, ada gak sieh yang coba ngertiin gw?” Lalu dengan singkat
komen pun berdatangan, “Nape lo, dul?” Dan selanjutnya, percakapan yang tidak
seharusnya diungkapkan pun terekspos kepada khalayak. Hingga kemudian pihak
oposisi dakwah tertawa geli melihat ‘kelucuan’ kita yang tak lucu tersebut.
Kepada suami/istri kita?
Itu dia masalahnya. Kalau sudah punya sih enak saja curhat dan saling
menguatkan. Tapi kalau belum punya?
Jika sudah seperti ini,
jangan salahkan kita kalau ada besitan untuk futur, lari dari tanggung jawab dan jadi ‘orang biasa’
dalam menjalani hari-harinya tanpa beban amanah dakwah. Wong kalau kalau jadi ‘orang biasa’ itu kan
enak. Karena tidak ada label aktivis dakwah, jadi mau seperti apa juga bebas!
Tapi di saat yang sama,
ketika pikiran kita memutar rekam jejak pahitnya dakwah yang kita rasakan, kita
tak dapat menepis suara hati yang mengingatkan kita tentang teori-teori cinta
dan arti perjuangan sejati. Semua bercampur menjadi proses tadabur, tafakur, sekaligus muhasabah diri. Tanpa kita sadari, kita
merefleksikan tarbiyah dan dakwah yang selama ini kita selami.
Hingga akhirnya, ‘pertempuran hati’ terjadi:
- Mengapa amanah ini diberikan kepada kita?
+ Bukan mereka yang
memilih kita, tapi Allah lah yang memilih kita! Karena itu kita adalah orang
yang terpilih. Berbahagialah!
- Mengapa para qiyadah terdahulu meninggalkan kita?
+ Tidakkah kita sadari,
bahwa kita bisa sejauh ini mengenyam nikmat tarbiyah dan dakwah hingga akhirnya kita tahu mana
yang baik dan yang buruk, adalah juga karena ‘uluran tangan’ mereka. Tanpa
mereka, akan seperti apa kita sekarang? Boleh jadi fisik mereka tidak menemani,
tapi tidakkah kita sadari bahwa mereka selalu menyelipkan nama kita di setiap
doa robithohnya?
- Mengapa kita dikelilingi para jundi yang kurang ideal?
+ Yakinlah, ada atau
tidaknya mereka dakwah ini akan tetap berjalan. Kalau mereka mundur, artinya
mereka kalah. Jangan jadikan kelemahan mereka menjadi penyebab kelemahan kita.
Kuatlah! Jangan biarkan semangat lingkungan memengaruhi semangatmu, tapi
semangatmulah yang seharusnya memengaruhi semangat lingkungan di sekitarmu!
- Mengapa kita harus banyak mengerti, tapi mereka tidak pernah
mengerti kita?
+ Sadarkah bahwa
kemampuan untuk mengerti, belajar, dan memahami orang lain adalah kemampuan
yang tidak banyak dimiliki orang lain? Karena kemampuan empati adalah tanda
kebeningan hati, buah dari hidayah Illahi. Inilah proses kedewasaan yang Allah
ajarkan kepada kita. Hingga ketika kita berkeluarga, menjadi suami, menjadi
ayah, menjadi pemimpin, dan lain sebagainya, diri kita sudah siap untuk itu
lantaran diri kita lebih arif dan bijaksana dalam bersikap. Mungkin kita yang
terlalu su`udzon kepada mereka. Bersabarlah. Syukuri apa yang ada. Lakukan apa
yang dibisa.
- Mengapa kita tidak boleh futur?
+ Jangan egois. Pikirkan
orang lain di sekitar kita. Apakah kita akan membiarkan proses tarbiyah para binaan dan para jundi kita terkatung-katung lantaran diri ini
merasa tersakiti? Ataukah kita mau nantinya Allah mencabut nikmat ini dan
memberikannya pada orang lain? Apakah kita tega membiarkan segala peluh
perjuangan kita berakhir sia-sia hanya karena diri kita tidak kuat berpijak?
Apakah kita ingin memasuki masa depan yang jauh dari nuansa tarbiyah dan dakwah? Dan kalaupun ingin futur, hendak seperti apa hidup kita nantinya? Apakah
itu menjanjikan kebahagiaan yang sejati?
- Mengapa begitu sulit dan berat?
+ Tidak sulit, karena di
setiap kesulitan Allah janjikan kemudahan. Tidak berat, karena Allah tidak
limpahkan beban melebihi kemampuan kita. Tidak ada masalah yang sulit ataupun
berat. Masalah itu kecil selama hati kita besar. Kalau kita merasakan masalah
begitu menghimpit dan sulit, itu artinya hati kita sedang menyempit.
Benarkah? Apakah hati
kita sedang menyempit hingga mudah sekali kita menemukan alasan untuk lemah dan
kalah? Padahal ada banyak sekali kenangan indah dan pengalaman manis yang kita
dapatkan selama ini. Mengapa semua itu tidak terlihat oleh kita? Ada apa dengan
kita?
Kita sadari semua protes
dan keluh kita yang kita ungkapkan ternyata bermuara pada kita sendiri.
Kekecewaan kita tak lain adalah bukti ketidakmampuan kita dalam menyibak tabir
hikmah yang Allah berikan. Ada yang salah dengan hati kita. Kenapa?
Lama kita berpikir.
Mendiagnosa hati. Sampai akhirnya kita bertanya dalam hati: Sudah berapa lama
kita tidak qiyamul lail dan tilawah?
Allahu a’lam…